4 Jebakan Psikologis Penyebab Salah Diagnosis

Diposting oleh soleh banget on Jumat, 08 Juli 2011


Beberapa tahun lalu ketika masih tinggal di Yogyakarta, sebagai pasien saya merasakan sendiri bagaimana bahayanya salah diagnosis. Waktu itu saya mengalami nyeri pinggang, yang saya curigai sebagai gangguan saraf. Kurang mantap mengobati sendiri, saya berkonsultasi dengan ahli saraf senior yang berpraktek tidak jauh dari rumah.
Apa yang disimpulkan oleh dokter tersebut sungguh mengagetkan. Saya didiagnosis menderita infeksi CMV (Cytomegalo Virus), dan diberi resep berisi obat antivirus merek tertentu yang harus diminum. Saat di apotek, saya semakin terkejut lagi ketika mendengar harga obatnya mencapai lebih dari Rp800.000,-. Mahal sekali, bahkan untuk ukuran sekarang. Saya tidak jadi menebus resep karena tidak membawa cukup uang. Selain itu, saya ragu apakah saya memerlukan antivirus. Setahu saya, anti-CMV hanya dibutuhkan oleh orang-orang dengan imunitas rendah, seperti penderita HIV atau penerima cangkok organ yang imunitasnya ditekan untuk mengurangi penolakan. Bagaimana pula dokter itu tahu saya mengidap CMB tanpa melihat hasil lab terlebih dahulu?
Singkat cerita, saya akhirnya pergi ke ahli saraf lain untuk mendapatkan second opinion. Dari hasil pemeriksaannya, ternyata saya mengidap servingitis. Ketika diberitahu mengenai diagnosis sebelumnya yang menyimpulkan infeksi CMV, sang ahli saraf hanya tersenyum. “Mungkin dokternya baru habis ikut seminar,” katanya enteng.
Apa jadinya bila saya betul-betul menebus obat anti-CMV? Uang terhambur percuma dan penyakit tidak sembuh. Belum lagi efek samping dari obat.
Kejadian di atas adalah contoh kasus salah diagnosis yang, sayangnya, masih sangat kerap terjadi. Dalam survei telepon tahun 1997 yang dilakukan The National Patient Safety Foundation terhadap 1.513 penduduk di AS, 635 orang (42%) mengatakan pernah menjadi korban kesalahan medis, 40% di antaranya dalam bentuk salah diagnosis. Itu di Amerika Serikat, yang notabene standar layanan kesehatannya jauh lebih tinggi. Bagaimana di Indonesia? Memang tidak ada statistiknya, namun saya yakin pasti tidak lebih baik.
Kesalahan diagnosis merupakan jenis kesalahan medis yang paling besar dampaknya karena terjadi di hilir proses. Akibat salah diagnosis, keseluruhan proses di belakang (seperti pemeriksaan penunjang, riset obat, dll) menjadi sia-sia atau bahkan membahayakan pasien. Karena itu, kehati-hatian dokter dalam melakukan diagnosis sangat diharapkan.
Kesalahan diagnosis dapat terjadi baik dalam proses pemeriksaan (misalnya, salah membaca hasil rontgen) maupun dalam pengambilan kesimpulan hasil pemeriksaan (misalnya, salah menafsirkan hasil rontgen). Dalam artikel ini saya mencoba mengupas kesalahan diagnosis jenis kedua.

Jebakan psikologis dalam diagnosis

Para ahli psikologi sudah cukup lama mengetahui bahwa dalam situasi tertentu, manusia seringkali salah mengambil kesimpulan karena adanya jebakan psikologis. Sebagai manusia biasa, dokter juga dapat terperangkap dalam jebakan tersebut ketika mengambil kesimpulan diagnosis. Berikut adalah keempat jebakan psikologis yang dapat menyebabkan dokter salah mendiagnosis:
1. Confirming Evidence Trap
Ada pepatah Inggris yang mengatakan, To a man with a hammer, everything looks like a nail. Bagi orang yang memegang palu, segala sesuatu mirip paku. Diakui atau tidak, para dokter seringkali bertindak seperti “orang yang memegang palu”.
Dokter yang baru saja mengikuti seminar atau sedang banyak mendengar informasi mengenai penyakit tertentu bisa terjebak melakukan overdiagnosis (menyangka penyakit itu, padahal bukan), terutama bila gejala-gejala yang diderita pasien mirip dengan gejala penyakit tersebut.
Dalam jebakan psikologis ini, dokter cenderung sudah mengambil kesimpulan final sebelum memeriksa semua gejala. Ketika menanyakan dan menerima informasi dari pasien, dia akan cenderung hanya mencari bukti-bukti yang menguatkan kesimpulannya dan mengabaikan informasi lainnya. Bukan sebaliknya, mempelajari semua informasi sebelum mengambil kesimpulan.
Menurut pengalaman saya pribadi, confirming evidence trap sering terjadi ketika pasien mengeluhkan gejala-gejala yang mirip sekali dengan pasien sebelumnya yang sudah terdiagnosis dengan tepat. Bila tidak cermat, di awal pemeriksaan saya akan tergoda untuk langsung menyimpulkan, ” ini pasti penyakitnya sama dengan pasien kemarin. Memang sedang mewabah…”. Eksaminasi lain dilakukan hanya untuk menguatkan kesimpulan dan informasi yang bertentangan cenderung diabaikan. “Tebakan” semacam itu tidak selalu benar.
2. Recallability Trap
Recallability trap terjadi bila peristiwa atau informasi luar biasa mengakibatkan penilaian kita tidak lagi proporsional. Seseorang yang rekannya baru saja meninggal karena kanker, misalnya, cenderung memerkirakan angka kematian akibat kanker lebih tinggi dari sebenarnya. Statistik mengatakan bahwa 1 dari 700 ribu penerbangan tidak mendarat dengan selamat. Itu adalah tingkat kecelakaan yang sangat kecil. Namun, orang bisa takut naik pesawat karena pernah berada dalam pesawat yang mendarat darurat.
Peristiwa dramatis atau traumatis yang terjadi di masa lalu juga bisa memengaruhi penilaian seorang dokter. Dokter yang di masa lalunya pernah melakukan underdiagnosis (menyangka bukan penyakit itu, padahal ya) sehingga berakibat fatal pada pasiennya– misalnya, terlambat mengetahui infeksi spinal pirogenik sehingga pasien menjadi lumpuh–cenderung untuk kemudian melakukan overdiagnosispenyakit itu.
3. Anchoring Trap
Kesimpulan atau informasi orang lain bisa membatasi penilaian kita. Dalam suatu penelitian, sejumlah orang disodori pertanyaan berikut:
Apakah jumlah penduduk Turki lebih dari 35 juta?
Menurut Anda, berapa kira-kira jumlah penduduk Turki?
Hampir semua orang terpengaruh oleh pertanyaan pertama ketika menjawab pertanyaan kedua. Padahal angka 35 juta di atas dipilih sembarang. Ketika angka pada pertanyaan pertama diubah menjadi 100 juta pada kelompok lain, angka taksiran semua orang pada jawaban kedua juga meningkat beberapa puluh juta! (Populasi Turki yang sebenarnya sekitar 70 juta).
Seorang dokter dapat terpengaruh oleh pendapat dokter lain atau pasiennya, sehingga tidak mengeksplorasi kemungkinan diagnosis lain yang terlalu melenceng dari kesimpulan awal. Beberapa tahun lalu suami saya mengeluh sakit pinggang. Kecurigaan saya, suami terkena batu ginjal. Namun, untuk lebih meyakinkan, saya mengajaknya untuk berkonsultasi ke internis. Ketika bertemu, kami berdua menceritakan keluhan-keluhan yang dirasakan berikut kecurigaan saya. Alih-alih mengkritisi atau membuat diagnosis berbeda, sang dokter membenarkan semua kesimpulan saya!
Selesai berkonsultasi, suami saya dengan cemberut mengkritik saya karena terlalu banyak “mengarahkan” si dokter. Kalau saya diam saja atau hanya membantu menjelaskan gejalanya, kesimpulan diagnosisnya bisa jadi berbeda! (Penyakitnya memang sembuh setelah beberapa hari, namun kami tidak yakin apakah itu batu ginjal karena hasil rontgen tidak spesifik).
4. Status Quo Trap
Kita semua pada dasarnya malas. Bila tidak ada insentif yang cukup, kita lebih suka diam daripada melakukan sesuatu. Selain membutuhkan upaya, melakukan sesuatu menambah risiko terjadinya kesalahan. Orang yang tidak berbuat apa-apa adalah orang yang tidak pernah salah!
Dokter juga seringkali “malas” untuk menggali informasi lebih detil yang membutuhkan upaya ekstra. Dokter, misalnya, mungkin enggan menyarankan tes lab tertentu untuk penyakit yang sangat jarang–karena kemungkinannya sangat kecil dan ada kerepotan tambahan baginya untuk mengecek hasil lab. Hal ini bukan masalah bagi sebagian besar kasus, namun bagi sebagian kecil lainnya bisa berakibat fatal ketika penyakit yang jarang itulah penyebabnya.
Jebakan status quo juga terjadi ketika dokter “malas” untuk mencari tahu sub-tipe penyakit yang diderita. Bagi penyakit tertentu seperti influenza, sub-tipe mungkin tidak terlalu penting. Namun, bagi penyakit diabetes, sub-tipe I dan sub-tipe II sangat berbeda dan membutuhkan penanganan yang juga berbeda.
Meskipun tidak dapat dihilangkan sama sekali, jebakan-jebakan psikologis di atas perlu disadari oleh dokter maupun pasien. Dengan menyadarinya, kita dapat mewaspadai kehadirannya sebelum terlanjur mengakibatkan kesalahan diagnosis.

{ 0 komentar... read them below or add one }

Posting Komentar